****
Awalnya, aku adalah seorang pria normal. Tidak ada kelainan apapun atau keluhan yang ku miliki tentang diriku, tidak ada sama sekali. Aku juga tidak memiliki ketakutan (phobia) terhadap apapun. Aku tidak takut dengan darah, ketinggian atau sesuatu yang berlubang banyak yang menurut beberapa orang itu menjijikkan (Trypophobia) bagiku itu sama seperti hal normal, seperti saat membuat kopi atau memejamkan mata saat tidur. Itu normal bukan?
Tapi. Semenjak kejadian mengerikan itu, sekarang aku memiliki ketakutan sendiri yang mungkin untuk beberapa orang adalah hal yang konyol; itu adalah suara.
Aku benar-benar ketakutan dengan suara. Suara disini maksudnya adalah suara apapun. Sungguh aku bukan bermaksud membuat lelucon atau hal yang mengada-ngada, itu benar. Aku benci dengan suara, itu seperti sebuah terror yang mengurungku, membawaku dan menarikku paksa ke dalam lubang yang sangat kecil. Kecil sekali, dengan tubuh sebesar ini aku seperti di paksa masuk ke dalam lubang kecil itu. Menyakitkan dan akan merobek dagingku hingga ke inti sell daging yang ku miliki. Berlebihan, namun itu lah yang ku rasakan tentang ; Suara.

Kejadianya terjadi 2 bulan yang lalu, ketika aku baru saja keluar dari tempat perbelanjaan untuk diskon. Aku menenteng 2 kantong plastic dan membawanya di tanganku. Aku ingat, ketika aku berjalan; aku berhenti di simpang jalan menunggu lampu merah menjadi hijau. Saat itu, isteriku menelphone, suara berderingnya membuatku harus cepat-cepat mengangkatnya, kondisi di jalan saat itu penuh ramai, sesak sekali. Orang-orang tampak terburu-buru, aku mengangkat handphone isteriku dan dia berteriak marah kepadaku, bertanya ‘apakah aku membawa kunci mobilnya’ aku langsung ingat bila aku memang membawa kunci mobilnya bila aku tidak lupa, aku meletakkanya di bagian bawah almari. Namun, dia (isteriku) tetap berteriak dan mengatakan bila dia sudah membongkar hampir semua barang untuk mencarinya, namun tidak ada; jalanan semakin di penuhi orang-orang yang menunggu lampu menjadi hijau. Aku berpikir kembali apakah aku lupa menaruhnya dimana, dengan mencoba memikirkan setiap detail di otak’ku tiba-tiba kerumunan orang mulai saling mendorong. Aku melirik lampu sudah menjadi hijau, Karen aku di baris depan dengan tangan penuh kantung kresek berat dan satu tanganku dalam posisi menelphone, aku melangkah lebih dulu. Aku ingat setiap detail kejadianya. Aku berjalan beberapa langkah, mungkin 4 sampai 5 langkah dan itu terjadi.
Aku masih menelphone, lalu suara-suara itu muncul. Itu adalah suara gemuruh orang berteriak—teriak seperti suara kesetanan, suara memekikkan itu bercampur dengan suara kasar isteriku yang masih marah, namun ada satu suara lain yang ku ingat’; itu adalah suara ban mobil yang bergesek sangat keras dengan aspal. Suaranya keras sekali, lalu tiba-tiba.. aku melihat bayangan mobil mendekatiku. Mengantamku dan semuanya menjadi gelap total.
Aku pikir itu adalah bagian akhir ceritaku. Tapi, aku salah. Aku terbangun di sebuah kamar. Beberapa tubuhku di perban dan mereka menceritakan aku baru saja melewati masa kritis, memberiku selamat atau apapun itu. Aku tampak seperti pria tolol. Isteriku datang. Matanya bengkak seperti baru saja menangis. Dia meminta maaf dan terus mengucapkanya, ini adalah kesalahanya namun aku tidak merasa ini adalah salahnya ku pikir ini adalah kesalahanku, karena terlalu toledor.
Pada bagian ini lah aku mulai merasakanya.
Dokter mengatakan aku boleh pulang, istirahat di rumah lebih dari cukup. Aku mulai melangkah pelan bersama isteriku di sisiku, dan suara-suara itu mulai muncul. Suara seorang pria tua yang terdengar seperti mengatakan ‘;sebuah kemenangan untuk Chicago Returns” lalu suara dari wanita yang mengatakan “Pasien 657 butuh perawatan medis, tolong panggilkan dokter Cellers” awalnya 6 hingga 8 suara, namun seiring detik dan waktu berjalan. Suara-suara itu semakin jelas dan keras di telingaku. Mereka mengatakan “Bom Iraq” -“Ekonomi Asia mengancam Eropa” , “seharusnya aku berselingkuh dengan suami temanku” lalu teriakan memuakkan yang terdengar seperti “apakah otakmu tertinggal di aspal. Tidak kah kau melihat rem bung!!”
Aku berhenti untuk melihat ke sekelilingku, aku mulai gemetar ketakutan. Yang ku lihat adalah sebuah mobil saling menabrak dengan pria-pria di sopir yang saling berteriak. Aku mulai mengerti. “tidak mungkin!!” kataku dalam hati.

“tidak mungkin itu suara mereka!!” aku menutup kedua telingaku, lirih dan gemetar. Bagaimana mungkin aku bisa mendengar suara dari mereka bila jarak antara kami sekitar 6 sampai 8 kilometer. Semakin lama, suara –suara lain bermunculan, itu semakin membuatku tidak bisa menahan rasa sakit di kepalaku.
Seharian. Aku mengurung diri dalam kamar mandi, memenuhi bak dengan air lalu mencelupkan kepalaku ke dalamnya. Itu efisien awalnya untuk beberapa detik, suara-suara itu menjadi samar-samar. Namun ketika aku menarik kepalaku untuk memberi ruang nafas aku kembali mendengar suara-suara memuakkan itu lagi.
Aku tahu isteriku ketakutan. Karena sepanjang hari ini aku berteriak-teriak mengatakan “hentikan!! Sialan. Jalang Bodoh kenapa aku menjadi seperti ini!!”. Saat isteriku menenangkanku maka aku akan kembali berteriak-teriak. Selama beberapa jam aku terus menerus memegang kepalaku. Sampai seseorang menghubungiku, dia menjelaskan sesuatu tentatng prosedur yang dia miliki, dia membawaku pada sebuah tempat, menyebutnya “Anechoic Chamber” itu adalah sebuah bangunan yang di bangun dengan beton dan Fiber. Mereka mengatakan aku mengalami trauma di bagin inti sel Otak tepatnya di sell pendengaran, dia menjelaskan banyak hal tentang teori matematika atau fisika atau kimia atau sejarah. Persetan dengan itu!! Karena aku mulai mendengar banyak suara-suara yang lain, bukan lagi suara dari manusia, melainkan suara yang lebih detail, detik dari jam, lalu suara ban berputar, suara dari putaran kipas angin, bahkan suara detak jantung dan bagaimana darah manusia bergerak—mulai terdengar di telingaku.
Dia membuka pintu pertama, kedua dan seterusnya sampai aku bisa melihat sesuatu yang maskulin dalam bangunan itu adalah ruangan berlipat-lipat dengan dinding menekuk aneh dia menjelaskan banyak hal namun aku tidak sanggup mendengarnya. Intinya, dia berpesan setelah pintu tertutup dia menjamin tidak akan ada lagi suara yang bisa ku dengarkan selama proses penyembuhan berjalan.
Aku ingat saat terakhir sebelum pintu tertutup. Isteriku menatapku kosong dengan linangan air mata. Dan perlahan semuanya menjadi gelap gulita. Suara-suara yang ku dengarkan mulai perlahan-lahan menghilang. Satu demi satu, suara-suara itu lenyap. Bagaimana aku menjelaskan, ini seperti tempat yang menghisap suara. Aku masih bisa mendengar jantungku yang berdegup dengan desisan aliran darahku, namun setiap detik volumenya perlahan-lahan lenyap dan aku tidak bisa mendengar apapun.
Ku pikir ini berhasil. Namun, aku membuat kesalahan paling fatal dalam hidupku.
Aku bertahan selama beberapa jam tanpa suara namun itu sama buruknya dengan mendengar suara-suara itu. Awalnya aku bertahan, cukup lama. Sampai perlahan-lahan sesuatu menguasaiku. Hening. Sangat hening. Tidak ada suara apapun. Bahkan ketika aku mengetuk dinding, tidak ada suara yang muncul. Aku mengertakkan gigiku namun tidak ada suara apapun yang terdengar. Aku mulai merasa tekanan yang tidak bisa ku jelaskan seperti mendobrak keluar dalam benakku. Aku mulai berteriak namun tidak ada suara yang muncul. Seperti aku terjebak di dimensi yang lain. Tanpa ku sadari aku mulai menyakiti diriku sendiri, di awali dengan kepalaku. Aku menyentuh lantai dengan lembut, lalu menenggelamkan kepalaku dengan keras, aaku terus melakukan hal yang sama, menghantamkan kepalaku berkali-kali. Namun itu tetap tidak berhasil, aku mulai mencakar-cakar tempat itu dengan kuku jariku, sesuatu noda merah mulai menetes keluar di antara kuku –kuku patahku, aku mencoba untuk tetap bertahan dan tidak menyakiti semakin jauh namun itu seperti menciptakan rasa frustasi dan kenikmatan saat tubuh terasa tersakiti.
Aku mulai menggigit keras-keras tangan dan kakiku, merobek dagingnya hingga terkelupas lalu memuntahkanya di antara lantai, menarik kasar rambutku hingga aku bisa melihat potongan-potongan kecil daging tipis di antara pangkalnya, menjejalkan mulutku dan mengunyah kasar jemariku. Aku seperti semakin ingin lebih jauh, setiap rasa sakit yang ku rasakan seolah-olah memaksaku untuk terus naik. Aku mulai merengut bola mataku, mencoloknya dengan kuku-kuku patahku menariknya dengan tenggorokan gemetar ketika aku berusaha menarik lepas urat mataku.

Kakiku mulai mengejang—namun sentakanya semakin membuatku harus lebih terbawa, hal terakhir yang aku ingat adalah, tepat di bagian bawah bola mataku, aku menarik sekuat tenaga bibir mataku ke bawah hingga aku menghancurkan tulang pipiku dan semua itu mengakhiriku. Aku masih tidak mendengar suara lagi dalam telingaku, namun ada satu suara terakhir yang ku dengar yang akan tetap ku ingat sampai aku benar-benar berakhir. Sebelum pintu tertutup, saat aku menatap wajah samar isteriku, aku tahu dia bergumam, suaranya sangat pelan namun sangat jelas di telingaku.
“ini adalah kuburanmu. Maaf. Selamat tinggal”
Isteriku tidak ingin aku menderita lebih jauh, dan dia tahu satu hal yang bagus tentang apa yang ku inginkan. Keheningan adalah cara akhir untuk Sang kematian merobek nyawa Seseorang. Sekarang aku mulai memejam dengan suara lembut isteriku yang terus menerus terngiang di telingaku.
**